Discoveries/Enlightenment?
Dari dulu gue selalu bertanya dan mencari tahu gimana caranya seseorang bisa memiliki "nilai lebih" dibandingkan orang lainnya.
Bagaimana satu atau sekelompok orang itu lebih dihargai sehingga diperlakukan lebih baik dan tidak didiskriminasi. Apakah memang cukup dengan ramah, baik hati, rajin menabung, dan jujur kita akan diperlakukan lebih baik? lol.
Sewaktu gue kecil, gue rasa gue nggak pernah berada di posisi yang "menguntungkan" in my social standards, gue ga langsung sadar tapi orang-orang di sekitar yang menotis hal tersebut dan called me out.
Gue gemuk, probably not as pretty as my sister and other girls around me at the time, nor smart as my sis (again, I guess my sis is inheriting all the good traits from my ancestors, what a lucky dog. Btw I could say this based on real data which is an IQ test I took in preschool, she scored a lot higher. Plus, she got complimented that she looked a lot like my mother in her chilchood while they weren't commenting much on me).
Sebenarnya, permasalahannya mulai pada saat gue sangat-sangat suka berada di tengah-tengah social groups dan berdiskusi or bertukar pikiran dengan teman-teman gue, apalagi yang seru-seru banget isi pikiran dan kehidupannya (again, lol).
Sewaktu akhir SD, gue mulai sadar kalo ada "strata sosial", atau mungkin lebih subtle, gambaran gue saat itu kalau ada kelompok-kelompok tertentu di setiap populasi yang tidak semua menerima gue as i am, gue jadi nggak bisa main sama semua orang (atau sekelompok orang yang sangat bikin gue kepo dengan kehidupannya) which are the things I really love and fuel my energy everday (literally sampe sekarang motivasi gue setiap hari itu untuk "bermain" dengan banyak orang dan menemukan hal-hal yang seru while doing it). Gue cukup sedih karena ditolak. I think my body still reacts everytime I see a piece of the rejection memory from people and things around me cz it literally hurts me as a child.
Lalu semenjak itu gue jd suka observe manusia, sebenarnya kualifikasi kaya apa yang tidak akan didiskriminasi. I religiously learnt it.
Hal ini terus berlanjut sampai mulai masuk masa puber, sewaktu SMP gue lihat hampir semua orang start dating and stuff, do a lot of prohibited things which people perceive as fun.
Gue semakin suka observe hal apa yang membuat seseorang itu attractive/bisa punya pacar/socially looked as the "it girls", "the jock", any kind or this stuff.
Cuma permasalahannya adalah di saat itu, gue tidak memiliki alat analisis yang benar, jadinya output-nya pun bisa dibilang tidak tepat.
Gue masih menggunakan solusi untuk permasalahan gue tersebut dengan "nasihat" atau "kata-kata" orang lain, entah dari omongan orang tua, quotes orang-orang berpengaruh yang ada di media massa, atau quotes orang-orang what so called "sukses".
"Ya kalau mau terlihat 'keren' ya kamu harus rajin belajar, baik hati, pintar memasak, pintar ngurusin rumah, nurut orang tua, tidak membantah omongan orang yang lebih tua dan berkuasa, selalu membuat orang lain senang" semacam people pleaser.
and bla...bla...bla... the list goes on.
Sebagai anak kecil yang belum banyak tahu mengenai hal, dan gak jenius-jenius banget sehingga gue tidak bisa analisis mendalam dan melawan status quo dengan argumen-argumen yang logical dan making sense kayak Sheldon Cooper, gue nggak pernah mempertanyakan hal-hal tersebut lebih mendalam dan mencari solusinya, jadi ya percaya aja kalau memang "kuncinya" adalah hal-hal tersebut dan melakukan hal-hal itu agar supaya gue bisa mendapatkan keuntungannya di kemudian hari.
Seiring berjalannya waktu kok gue kembali menghadapi permasalahan yang sama, I got rejected di lingkungan yang gue kepo banget pergaulannya, dan curiousity ini berkembang bukan hanya ke lingkungan tapi menjadi kebutuhan biologis, misalnya saat gue tertarik sama cowok.
I already hate the feeling I can't talk to someone yang menurut gue sangat menarik untuk diajak ngobrol, apalagi some guy yang I really am attracted biologically and sexually, freaking frustrating.
Akhirnya gue pun kembali mengevaluasi apa saja yang disukai dari orang-orang yang secara social standards itu bisa "masuk perhitungan". Apa memang mereka beneran "baik" which in here means mempunyai sifat-sifat yang telah gue terima juga sebagai advice jika ingin "keren"? Ah, nggak juga. Ada yang gak punya sama sekali juga tetep dapet pacar juga, ada yang lacking banget etikanya tapi tetep got complimented by a lot of people, even their eyes shine whilst talking to this lacking- of- some- ethic-person, so different comparing how they talk to me (Do i sound so bitter? hahaha).
Pada awalnya gue meng-observe itu sih gue masih sangat denial dengan fakta tersebut, dan masih mencari pembenaran dan alasan berbagai jenis. Mungkin a, mungkin b, mungkin c, berbagai karangan yang gue buat-buat sendiri kondisinya untuk menghibur diri. Tapi, seiring berjalannya waktu, kok permasalahannya tetap sama dan bahkan lebih prominent, ya? Gue semakin mempertanyakan keyakinan diri sendiri terhadap masalah ini jangan-jangan memang salah dari awal.
Sedikit fast forward, pikiran itu terus berlangsung sampai gue ada di akhir bangku kuliah (good news, I am no longer a college student! A thrilling moment, indeed.) yang di mana perkuliahan di Indonesia khususnya kampus gue masih menggantungkan semua kegiatannya ke sistem daring.
Pikiran itu makin jelas saat gue sudah sampai di titik tersebut dan harus berpikir untuk keputusan-keputusan gue di masa setelah ini, gue semakin mempertanyakan apakah hal-hal "baik" yang gue secara akumulasi lakukan dari kecil hingga saat ini benar-benar akan membawa keuntungan buat hidup gue setelah ini?
Apakah gue akan mendapatkan hal-hal yang gue inginkan dengan melakukan "kebaikan" setelah berlelah-lelah belajar di bangku sekolah hingga perguruan tinggi?
Saat itu, masih dalam keadaan pandemi yang mengharuskan semua kegiatan di perkuliahan dilakukan via daring. Semenjak online gue tidak bisa berkomunikasi secara intens dengan teman-teman, apa lagi mau diskusi dan curhat tentang permasalahan pribadi, sebagai gantinya gue jadi mendengarkan berbagai diskusi, webinar, obrolan, dan berbagai hal yang berkaitan dengan apa yang sedang gue pikirkan sekarang.
Salah satu yang gue rajin dengarkan saat-saat itu adalah channel yang dikelola oleh seorang content creator bernama Cania Citta, yang merupakan istri dari Sabda, founder bimbel online yang sempat gue gunakan juga dahulu, yaitu Zenius. Cania sendiri merupakan pengelola akun Geolive yang sering gue ikuti videonya, saat itu Ia dan Sabda, membuat sebuah podcast yang berjudul Podquest, yang tagline-nya itu "Everyday Question on Everything" intinya sih banyak membahas isu-isu sosial, pendidikan, sains, dan lain-lain.
Lalu gue mendengarkan salah satu episodenya yang berjudul "Thinking Framework" di episode 10. Spesifik di episode tersebut, dikatakan bahwa untuk dapat mengelola informasi dengan baik dan tepat guna, diperlukan pemetaan yang tepat juga karena waktu hidup kita yang terbatas, Sabda di podcast itu menyampaikan bahwa terdapat 4 domain dalam pengelolaan informasi, yaitu ada logika, sains, moral, dan terakhir, estetika. Di mana logika adalah cara pengambilan kesimpulan yang tepat dari premis-premis yang ada, sains adalah cara untuk observasi realita di alam, dan moral untuk menentukan mana yang baik dan benar (which is very relative to the environment), dan estetika adalah soal selera keindahan yang betul-betul soal selera. *Disclaimer: please CMIIW.
Setelah mendengarkan podcast itu rasanya gue jadi seperti refleks muhasabah (hahaha) merefleksikan kehidupan gue yang sering ga fit to the standards ini, kira-kira dulu gue salah di mana ya sampe bisa dapat perlakuan seperti itu?
Kembali lagi karena gue masih kepo, gue nggak hanya berhenti di satu episode itu, gue terus mendengarkan episode-episode lain serta diskusi, webinar, or any kind of talk di any kind of platform, serta menjalar juga ke berbagai talks. Gue juga akhirnya banyak menonton webinar yang dilakukan oleh dr. Ryu Hasan di channel beliau dan channel berjudul happy is easy, di mana ia sering menyampaikan materi-materi mengenai human behavior based on neuroscience, freaking interesting, huh?) yang berhubungan dengan science dan lainnya yang ternyata banyaaaak sekali menjawab pertanyaan gue kenapa orang bisa didiskriminasi hingga ada yang merasa berhak untuk melalukan diskriminasi.
Ternyata, setelah mendengarkan banyak kotbah dr. Ryu *iya, kotbah*, gue sadar dulu gue banyak banget salahnya kalau dilihat dari kacamata human behavior. Contohnya di mating game, gue nggak punya yang orang lain yang punya pacar punya, they got good body, pretty face, decent groomed, comparing to me? I lack like too much in a lot of aspects. Ternyata atribut-atribut itu adalah bentuk nyata dari bagaimana seseorang itu healthy (inside and out) untuk dijadikan pasangan dalam membentuk keturunan.
Setelah mendapatkan berbagai informasi terkait betapa bodohnya gue, gue sadar kalau ternyata memang gue banyak banget poin minusnya yang mungkin mentrigger orang-orang di sekitar gue bisa sampai melakukan berbagai hal yang mendiskriminasi, ditambah juga keadaan lingkungan gue saat itu masih anak sekolahan yang gue pikir belum cukup dewasa untuk menentukan mana yang benar-benar perlu dilakukan dan tidak.
Atau, mungkin juga memang subconsciously orang-orang di sekitar gue melakukan hal tersebut, karena memang pada dasarnya manusia ya akan mencari orang-orang yang healthy inside and out untuk dijadikan "teman" atau "partner" dalam bentuk hubungan apa pun.
Yah, sebenarnya fakta-fakta ini sudah dipelajari oleh kita saat sekolah, khususnya di biologi, cuma gue nggak tahu kalau fakta itu bisa sampai senyata itu--- sampai pada saat gue mendengarkan a lot of talks which i mentioned before.
Setelah mendengarkan dan mengetahui bahwa hal tersebut senyata dan sedekat itu dengan kehidupan pribadi gue, gue jadi kembali berpikir dengan thousands of belief yang gue pegang dari dulu, gue kembali mengingat-mengingat apa saja yang gue percayai, gue pengen mengecek kembali, jangan-jangan semuanya salah makanya hidup gue ini begini, and I got treated like shit sama orang-orang?
Sedikit bercerita, perjalanan dalam upaya memahami semua konsep-konsep baru itu sangaaaaaaaat exhausting secara emosional, menghabiskan banyak energi untuk kembali membongkar isi otak tentang kepercayaan yang membuat telinga gue nyaman. Hal ini wajar karena gue sudah sangat terbiasa dengan pola pikir yang dahulu to the point itu yang memengaruhi emosi gue.
Gue sempat berpikir, sedih banget hidup gue sampe segininya hanya untuk survive while di luar sana orang kayanya nggak perlu mati-matian memahami kenapa diperlakukan kaya sampah sama orang-orang or even diperlakukan bak putri mahkota, cuma ya mau gimana lagi, lagipula I enjoy it along the time.
Setelah mendengarkan dan memahami konsep-konsep baru ini, terjadi sedikit banyak perubahan sih di paradigma gue yang termanifestasi ke perilaku gue sehari-hari.
Gue sendiri punya banyak ketakutan, dan terkadang sering sampai berpengaruh ke fisik, di mana saat gue takut atau panik, jantung gue bisa berdetak sangat kencang sampai di poin gue bisa mendengar suara detak jantung gue saat membaringkan kepala di atas bantal, bahkan sampai sulit tidur karena hal tersebut.
Namun, semenjak mengetahui hal tersebut, ia mengubah paradigma gue dan menjadi alat bantu yang perlahan mengubah isi otak gue dan my views on a lot of things in this world, termasuk tentang diri gue sendiri, pertemanan, kehidupan, keluarga, pekerjaan, misi hidup, pendidikan, hubungan romantis, dan lainnya.
Ya intinya gue jadi jauh lebih memahami kenapa sekelompok bisa melakukan perbuatan tertentu, dan menyadari kalo diri gue nggak se-sampah itu sampai harus diperlakukan tidak sesuai.
I guess that's my experience on enlightenment.
Until next time!
Comments
Post a Comment