Ekspektasi


Dulu, sewaktu gue masih seumuran SD tingkat akhir sampai SMP, gue suka banget baca novel teenlit (teen literature). Gue suka banget ke gramedia, setiap ke mal selalu menyempatkan diri buat ke gramedia dan liat-liat buku baru, atau buku yang belum pernah gue baca. Sebenernya dari zaman SD, gue suka banget sih baca komik. Terutama komik shoujo (serial cantik) dan detektif conan, kalo shoujo isinya gak jauh-jauh dari cerita cinta remaja nanggung gitu, kalo detektif conan pasti tau lah ya, tentang kasus-kasus kriminal atau misteri gitu. Gue suka banget baca keduanya, tapi, emang dari awal lebih condong ke cerita romansa-romansa gitu lah.

Kemudian pas SMP, gue mulai berubah haluan menjadi pembaca novel teenlit banget. Gue suka banget baca teenlit (dan kisah-kisah romantis lainnya) karena gue bisa membayangkan kalo gue bisa ada di posisi si tokoh tersebut. 

Showered with much love and affection
Being loved and appreciated. 
Ketemu pada berbagai ketidaksengajaan dan berakhir bahagia. 
Berantem jadi cinta. Dan banyak hal-hal indah lainnya. 

Kalo pun emang ada masalah bakalan lebih simpel dan masalah itu bakalan membuat si tokoh menjadi lebih baik pada kemudian harinya. 
Sounds too perfect. I need that in my life. That was i'm rooting for in my life. 
Dicintai banyak orang tanpa berusaha banyak, dunia terdengar sangat indah (dan simpel)

Gue inget pernah baca novel teenlit dengan judul Jingga dan Senja (ini novel trilogi gitu karangannya mba Esti Kinasih), dia bercerita tentang si Tari yang berstatus pelajar SMA dan pacaran sama kakak kelasnya, kisah mereka berawal dari si cowok atau Ari yang mulai mendekati Tari karena mereka memiliki kesamaan nama. lol. Sangat romantis bukan? (atau mungkin bisa kita sebut sangat diromantisasi.)

Gue yang masih berumur 12 tahun dan duduk di bangku SMP akan merasa cerita itu begitu romantis dan berpikir hal yang sama akan terjadi ke semua orang (termasuk diri sendiri). 
lol, I was so stupid
Gue berpikir semudah itu mendapatkan pasangan, hanya karena nama (dan tidak berpikir ada banyak faktor lainnya untuk menentukan seseorang memilih pasangannya).
Ya emang sih, umur segitu belum bisa mikir banyak. Tapi itu bener-bener ngaruh ke diri gue dan gue menjadi seorang so-what-they-called daydreamer. Gue suka banget berandai-andai.

Mimpi-mimpi siang bolong itu jadi sebuah escape buat gue, escape dari dunia nyata yang gue pikir ga sebagus di dunia fiksi. I love being in my own world, dunia yang sepertinya gue menjadi seorang subjek sekaligus pemeran utama (hahaha) dan selalu adem-ayem.

Tapi setelah semakin dewasa, gue menjalani kehidupan, gue berpikir "Kok ini ga kaya yang gue pikirin ya? Kayanya ada aja yang bikin susah, ga langsung naik level gitu tiap bertambah umur."

Pas SMP, gue berpikir SMA bakal indah seperti yang dikatakan orang-orang. 
Masa-masa SMA masa yang paling indah, ceunah. 
Eh pas baru masuk SMA, gue inget banget gue nangis-nangis karena capek banget. Gue sekolah di daerah Bekasi Selatan, tepatnya disamping GOR Bekasi dan rumah gue ada di Bekasi Timur (sonoan lagi hampir Tambun). 

Dulu, belum ada ojek online, jadi gue mau gak mau harus dua kali naik angkot dan sekali naik ojek buat nyampe rumah. Belum lagi, pulang sekolah udah jam setengah 4 sore. Capek banget dan ditambah pelajarannya susah banget. 

Gue jadi dimarahin nyokap karena nangis-nangis mulu (Doi bilang ya salah sendiri itu kan pilihan kamu) :')

Akhirnya yaudah gue tetap menjalani dan puji Tuhannya bisa survive. And i could say those memories made me stronger, atau lebih tepatnya, mau ga mau harus strong kali ya, wkwk.


Setelah pengalaman itu gue rasa, SMA tuh bukan masa-masa terbaik di hidup seperti apa yang orang-orang katakan dan diri gue bayangkan. Masa-masa SMA gue dipenuhi kelelahan dan perjuangan, I would say. Perjuangan juga buat beradaptasi dengan lingkungan yang pada awalnya gue tidak merasa cocok. 

Pas SMA, tentu saja gue tetap suka berandai-andai. Membayangkan kalo setelah SMA favorit, gue lebih gampang masuk PTN favorit (baca : UI) lalu gue gampang masuk kerja, jadi orang kaya, nikah, dan hidup bahagia selamanya.

Tapi ternyata tidak semudah itu. Di sekolah kita harus belajar banyak banget materi (dan fyi, gue masuk IPA yang sebenarnya gue ga terlalu suka) ---updated vers: gue gak merasa cocok karena ternyata bukan karena pelajarannya per se, tapi emang gue udah overwhelmed sendiri sama pelajarannya yang banyak, gaada waktu buat ngulik lagi.

Belum lagi ditambah harus ikut les buat tetep bisa "ngejar" materi yang dikasih guru, karena biasanya guru sekolah ngejelasinnya cuma sedikit, sisanya kita belajar sendiri. Banyak banget hal yang harus diperjuangin.

Thank God, gue bisa lolos SBMPTN dan berkuliah di UNPAD. Lumayan tidak membebani orang tua dengan biaya yang super mahal kaya di kampus swasta. Biaya hidupnya juga bisa diatur lah.

Tapi setelah gue menginjak dunia perkuliahan, gue kira kuliah itu bakalan sama nih template nya sama kaya sekolah. Kita belajar di kelas lalu lulus dan kerja. Ternyata beda banget kan, kita kaya bener-bener "dicemplungin" ke kolam dan mesti survive supaya ga tenggelam dan bisa sampe ke daratan terdekat.

Harus bisa belajar dengan baik sekaligus juga mengatur diri karena kita hidup sendiri. Gak lupa juga mesti bersosialisasi dan inget sama masa depan. Sometimes, I get so anxious. Karena banyak banget yang mesti dipikirin. Setelah dipikirkan pun gue bakal tambah khawatir karena waktu terus berjalan dan gue merasa sources yang gue punya (termasuk diri gue sendiri) itu belum cukup memenuhi standar yang ada di lapangan. Apalagi 2-3 tahun mendatang.

Ternyata, kuliah...dan hidup ga sesimpel itu. Lo naik kelas, lo nambah umur, tidak otomatis lo naik level setingkat menuju kesuksesan. 
(Even i still don't know what exactly kind of success that i want to pursue)

Setelah kuliah ini gue merasa, waktu berjalan cepet banget, setiap hari selalu ada yang harus kita pikirkan, lakukan. Selalu ada masalah yang harus kita pecahkan, kita bagikan ke teman-teman terdekat, ada juga yang cukup ditelan sendiri dan terus lanjut menjalani hidup.

Mungkin karena gue lagi libur dan punya cukup banyak waktu luang, gue bisa berpikir sejenak dan melihat ke belakang.

Berapa banyak ekspektasi yang sudah gue buat untuk diri sendiri dan sekitar gue.

Banyak yang tidak kejadian, tapi tidak sedikit juga yang beneran terjadi.

Gue berpikir, apa emang gue menjadi lelah  karena terbebani dengan ekspektasi gue ke diri sendiri?

Hmm, kayanya iya juga sih.

Gue berekspektasi gue bisa kuliah di UI, gue lulus pada umur sekian.

Gue menikah pada umur sekian dengan seseorang yang mapan dan kriteria-kriteria lainnya yang tentu saja dapat disebut ekspektasi.

Gue juga berekspektasi bisa kurus hanya dengan diet selama tiga bulan pergi ke gym dan menahan lapar tiap malam. (hmmmm, pengalaman sedih nih sebenernya tapi seru juga sih, hahaha.)

Gue berekspektasi bisa punya orang tua, adik, dan teman-teman yang sabar, jarang marah-marah, dan perhatian karena gue sudah berusaha semaksimal mungkin buat memperlakukan mereka seperti itu.

Gue berekspektasi lancar public speaking karena gue udah sering latihan buat presentasi.

Gue berekspektasi bisa menyenangkan semua orang dan berhubungan baik dengan semua orang. Tanpa masalah yang berarti.

Gue berekspektasi gue bisa jadi orang yang pinter matematika, bahasa inggris, dll. Kalo bisa semua bidang gue pinter dan nilai gue selalu bagus.

Gue berekspektasi gue bisa menjadi seorang social butterfly, yang bisa beradaptasi dengan cepet di lingkungan mana aja gue di tempatin.


Memang sih, ekspektasi itu juga yang bakal memacu kita buat lebih "maju" daripada sebelumnya, but it won't work all the time.
Sometimes, expectation kills.

Gue berharap semoga kita semua bisa menempatkan dan menaruh ekspektasi kita di "tempat" yang tepat.






xx.

Ini sebenarnya draft tulisan yang gue buat pada bulan Juli, tapi baru sempet diselesaikan sekarang. Emang nulis tuh butuh "energi" dari keadaaan yang emosional kali ya. hehe.

Thanks for reading, fellas.

Comments

Popular posts from this blog

Ms Rona

Discoveries/Enlightenment?