Hitam Atau Putih?



a black and white landscape of Bandung City from a hotel balcony (7/7/19)

Akhir-akhir ini kayanya otak gue bekerja dengan intensitas yang sangat tinggi. 
I don't know apakah salah satunya karena Bulan September semakin dekat, yang berarti angka 20 tahun bakalan ada di depan mata. 

Emang sih umur itu abstrak, tapi hal abstrak itu mempengaruhi banyak sekali hal di pikiran gue (termasuk lo juga, mungkin). 
Beberapa bulan menjelang umur 20 (yang sudah bisa dibilang dewasa lah kalo kata society). Diri gue, khususnya otak, bergerak sangat dinamis atau bahkan bisa dibilang sangat random sampe kadang rasanya otak gue mau gue copot aja dari kepala karena pusing mikir mulu.


Banyak banget hal yg udah terjadi selama hampir 20 tahun gue hidup, banyak hal yang gue lihat, dengar, dan rasakan. 
Ya, perasaan. 

Kalo bisa dibilang, gue termasuk salah satu orang yang cukup sensitif. Gue bisa dikategorikan sebagai ISFJ (don't start saying MBTI isn't relevant enough to picture the whole world personalities BUT HEY it actually helps me!)  dengan S stands for sensitive, gue sangat sensitive terhadap hal-hal yg terjadi di sekitar gue.
Sudah hampir 20 tahun gue merasakan banyak hal dari yang "hah, sepele itumah" sampe yang sangat penting.
Gue berpikir mungkin sense gue aja yang lagi bekerja dengan intense pada beberapa kesempatan itu, tapi ternyata enggak sih, gue rasa itu emang bener-bener jadi salah satu strength gue (or probably weakness?) .


Lalu di malam ini, setelah gue nonton film Parasite, otak gue rasanya bekerja jadi lebih cepet dan sensitivitas gue juga gitu (mungkin ini karena filmnya thriller ya, somehow bisa membangun ambience-nya buat audience jadi lebih aware). B
ut anyway, karena film ini gue jadi berpikir dan bisa menyimpulkan sesuatu. 

(NB : setelah menulis ini, gue iseng-iseng baca tentang review-review parasite di internet. Ternyata emang film kritik sosial toh. Terus sengaja dibuat abu-abu juga karakter protagonis dan antagonisnya, Mungkin gara-gara film itu juga ya gue jadi kepikiran ngomongin ke-abu-abuan ini).

Oke, lanjut ya. Gue jadi menyimpulkan bahwa...

Manusia tuh semuanya abu-abu, ya nggak sih? 
Gak ada yang bener-bener putih, gak ada yg bener-bener hitam. 


Even seseorang ngaku dia ada di salah satu warna, sebenernya dia gak bener-bener berwarna itu secara keseluruhan. 

Dia bilang di saat ini dia itu putih, tiba-tiba pada hari yang sama, dia bakalan jadi hitam. 
Completely hitam sampe dia gak bisa melihat diri sendiri kalo warna dirinya sekarang itu hitam.
Kadang gue, yang lagi berperan sebagai anggota masyarakat-- di mana tentu saja gue akan megobservasi orang-orang yang ada di sekitar gue, akan melihat 2 warna itu di setiap orang. 

Mungkin pertama lihat dia (atau warna asumsi gue ke dia) itu hitam. 
Ternyata setelah peng-observasi-an lebih dalam gue melihat
 "Ah nggak juga, ternyata dia itu putih" saat dia berada di dekat gue. 
Atau mungkin dia abu-abu. 
Nggak se-hitam yang seperti gue bayangkan dan asumsikan. 


Secara sederhana sih gue berpikir, manusia tuh enggak ada yang bener-bener baik, ya nggak sih?

"Bener-bener baik" di sini gue artikan sebagai baik all the time
At any situation, at any kind of people, at any financial status, at any age, at any difficulties that they face.


Emang ada ya manusia yang bener-bener sebaik itu? 
Kapan pun dan di mana pun? 
Gue sampai sekarang belum ketemu sih orang kaya gitu. 

Kalau pun ada, mungkin karena intensitas kita berinteraksi hanya sedikit dan kalau pun dia baik menurut gue, menurut orang lain belum tentu juga dia baik. 

Karena bisa aja dia baiknya ke gue saja karena masuk kriteria tertentu dan ke orang lain tidak,  karena orang itu tidak masuk ke kriterianya untuk diberikan label "baik".
Mungkin setelah orang lain bercerita ke gue pandangan dia terhadap orang ini, bisa saja pandangan gue terhadap dia berubah. Dia nggak jadi 100% baik lagi.

Dulu gue suka menganggap diri gue sebagai orang yang baik. 
Tapi semenjak berpikir seperti ini, gue kembali bertanya sama diri sendiri, 

Emang lo udah sebaik apa sih? Terus emang yakin porsi baiknya lebih banyak daripada porsi jahatnya? 
Semenjak berpikir gitu, gue jarang menganggap diri gue ini adalah orang yang benar-benar baik.

Kembali lagi "baik" itu ditentukan oleh banyak situasi dan kondisi. 

Gue juga dulu sering berpikir dunia ini dipenuhi oleh orang-orang baik. Makanya gue  masih berharap banyak dengan dunia ini. 
Gue berpikir, biarpun gue helpless di suatu waktu di masa depan, gue akan dibantu oleh semua orang atau orang terdekat, karena, mereka itu baik.

Setelah makin dewasa, gue melihat realita ternyata tidak sebaik asumsi gue sewaktu dulu. 

Orang-orang yang dulu gue anggap baik sudah cukup berubah, karena tentu saja time changes people.
Malah, orang-orang yang tidak gue anggap baik berubah menjadi baik.

Entah asumsi gue yang dari awalnya salah, atau mereka benar-benar berubah.
 Atau memang gue melihat mereka saat keadaan mereka sedang tidak baik dan saat ketemu mereka lagi mereka sedang di keadaan yang baik. 

Atau memang standar baik gue yang salah, atau memang sebenarnya tidak ada yang benar-benar baik di dunia ini? 

Entahlah, I'm still figuring these things out juga.

Comments

Popular posts from this blog

Ms Rona

Discoveries/Enlightenment?

Ekspektasi