Cold Hearted Bit*h

Halo!

Beberapa waktu terakhir ini gue lagi sering bermain chatting slash dating app. Salah satu aplikasi yang gue mainkan adalah aplikasi chat dengan stranger yang dilakukan dengan cara membuat sebuah status. Nanti seseorang yang tertarik akan menjawab dengan cara me-reply status tersebut atau dengan cara chat langsung ke si pembuat status. Semuanya secara anonim, kita cuma butuh display name aja. 

Melalui aplikasi ini gue bertemu dengan cukup banyak tipe orang. Banyak pertanyaan juga yang memang gue lontarkan. Mulai dari pertanyaan tentang job description dari suatu role pekerjaan tertentu hingga pertanyaan yang cukup ribet tentang gimana seseorang sudah bisa healed dari trauma-nya. Banyak dari mereka yang ternyata sangat membuka pikiran gue sendiri, banyak juga yang gak jelas, sih. 

Satu hal yang gue sadari mengenai aplikasi ini adalah gue suka app ini karena dia bisa dengan mudah mempertemukan kita dengan seseorang yang punya interest or at least, topik pembicaraan yang sama dengan kita. Jadi sedikit bisa memberikan gambaran bagaimana pola pikir seseorang. 


Namun, di sisi lain ternyata gue menemukan hal lain, yaitu ternyata gue gak suka saat diskusi-diskusi santai tersebut harus berubah menjadi sebuah "keharusan". Gue ternyata cukup tidak nyaman dengan adanya sebuah keharusan itu, gue melihat itu sebagai sebuah beban? Saat bermain aplikasi ini dan chat dengan beberapa orang, I had a very good conversation with them. But when they said they wanna move to another platform, mereka mau ngobrol lebih intens lagi dan mengenal lebih dalam tentang satu sama lain, gue langsung bingung. Hahaha. 

Ada beberapa orang yang gue kasih kontak pribadi , namun ternyata "kandas" di tengah jalan karena gue gasuka di-chat setiap hari?  Don't get me wrong, I know how to hold a great convo with people but I don't want it to become some kind of duty.


Gue bingung kok ada orang yang bisa ngobrol tiap hari tanpa rasa bosen, karena pasti mereka ga selalu memiliki topik yang menarik untuk dibahas berdua, tapi di situ gue belom tau apa yang gue rasakan saat itu. 
Gue cukup ngeuh tapi belum bisa mengidentifikasikan jenis perasaan apa itu, intinya gue gasuka saat gue harus terhubung dengan seseorang secara terus menerus, tanpa alasan yang jelas buat apa. 

Gue sampe sempet bertanya di aplikasi itu lagi mengapa orang-orang bisa ngobrol sama partnernya setiap hari dan tidak kehabisan topik atau bosen. Gue beneran bingung di poin ini.
Namun, pada saat itu gue belum tau itu termasuk issue apa dan kenapa hal itu bisa terjadi. 


Salah satu contoh dari kebingungan ini gue rasakan saat setelah berdiskusi tentang suatu hal dengan seseorang di aplikasi itu, ada yang bertanya "Kamu lagi apa?", berkali-kali. 
Gue sejujurnya cukup bingung dengan pertanyaan gitu, apa esensinya sebenernya, kenapa juga dia harus tau gue lagi ngapain, gaada penting-pentingnya gitu gue pikir. Gue juga mikir ngapain juga gue harus menjelaskan apa yang gue lakukan ke seorang stranger??  
Gue bingung sampe kembali bertanya "Kenapa sih nanya-nanya begitu?" dan dia cuma menjawab "yah nanya aja". Akhirnya setelah ditanya gitu gue ga jawab lagi. I got pissed at some pointLOL 
Abis gue merasa risih ditanya begitu, ga jelas pikir gue, ngabis-ngabisin waktu aja. 
 (Namun setelah belajar gue jadi tau kenapa seseorang suka nanya hal itu, sih)


Setelah satu bulan gue mencoba menjawab curiosity gue di aplikasi ini, gue move ke aplikasi lain. Aplikasi ini adalah aplikasi yang lebih spesifik untuk mencari date, walaupun sebenarnya juga bisa untuk mencari teman se-jender sih karena ada fitur bff.  Gue baru aja beberapa hari memainkan aplikasi ini, seperti aplikasi dating pada umumnya, ada kesenangan tersendiri saat men-swipe kanan atau kiri pada profil seseorang. Rasanya kita kaya berada di hierarki tinggi karena bisa punya banyak pilihan mengenai calon partner. Lmao. Apalagi kalo ternyata match, seru juga, jadi kaya main game gitu, lol

Oh iya, perlu dicatat juga bahwa gue cukup menyukai fitur di aplikasi ini di mana membiarkan gue, sebagai perempuan, untuk membuka conversation. Tidak seperti aplikasi lain yang biasanya yang cowok yang memulai percakapan. How cool is feminism. Also, fyi I don't find it's hard to find an opening line or stuff, in fact, that's my favorite part of the conversation. 

Gue sebagai seseorang yang suka bertemu dengan orang baru untuk mendapatkan insight baru, juga karena pandemi yang membuat gue tidak bisa bertukar pikiran dengan teman-teman reguler gue dari kampus, merasa ini tuh sangat amat menyenangkan. Ditambah lagi, aplikasi ini memberikan banyak fitur untuk mem-filter orang-orang seperti apa yang bisa berinteraksi dengan kita.  

Gue merasa senang bisa mendapatkan hal tersebut dari sebuah aplikasi, gue terhubung dengan banyak orang, khususnya cowok. I don't deny I miss seeing guys, and talking with them, that's biological instinct after all. 

Setelah mencoba aplikasi ini, gue menemukan beberapa match. I talked to a lot of guys. They're kinda cool actually, gue merasa di aplikasi ini orang-orangnya beneran keren-keren gitu, banyak yang nyambung kalo diajak ngomong karena banyak ketemu interest yang sama. 

Then I met a guy, I looked at his profile, he looks cute, he looks like stephaniewose's (a youtuber) new boyfriend

He's an aquarius, (well, gue sebagai seorang libra melihat aquarius is my fellow air sign yang sifat-sifatnya cukup familiar, dan ditambah fakta adek gue juga seorang aquarius). He stated on his bio about 2 truths and a lie, he said he's a bit feminine.
I'm thinking to my self, well, it's interesting. I guess He's brave enough to made  the statement, even I didn't know whether it's a truth or nah. I swiped down then I found something that's just made me clicked, Snoh Aalegra is in his top artists on spotify. 
I Immediately think, aw, such a rarity to meet a guy who listens to Snoh. Next thing I know, I swiped right on him and I messaged him.

"u know what, I swiped right cz u had snoh aalegra in your top artists on spotify"
I even added a winking dace with tongue emoji. That shows how amused I was, since I listen to Snoh Aalegra a lot these days. 

Dia membalas "Wah, ga banyak ya ketemu yang selera musiknya sama disini" and he asked me what is my favorite songs of her. 

Gue juga melontarkan pertanyaan selanjutnya mengenai statement dia di bio. Dia menulis bahwa dia bisa membaca pikiran seseorang. Oke, gue pikir itu bisa menjadi topik yang seru untuk jadi bahan obrolan, gue bertanya "u could read my mind?".  

Pada poin ini, gue ga memiliki ekspektasi apapun mengenai jawaban dia. It's just something casual, gue berpikir he also loves to analyze people, human, and stuff, just like me. Atau mungkin gue berpikir dia hanya bercanda mengenai hal tersebut, makanya gue mencoba untuk mengetes. 

Then next thing happened was unexpected. 

Dia menjelaskan asumsi dia mengenai sifat-sifat gue, dengan jelas dan runut. Tulisannya sangat rapih untuk ukuran percakapan di sebuah aplikasi dating
(Disclaimer: bahan analisis dia adalah statements gue di bio. Emang di bio itu gue mencantumkan beberapa hal seperti bio singkat dan beberapa interest gue.)

Memang sih, karena gue sudah menulis dengan deskripsi yang cukup mengenai diri gue sendiri, tidak cukup sulit untuk membaca beberapa sifat gue. Cuma yang bikin gue kaget adalah kedalaman dia menganalisis, balik lagi karena konteksnya ini hanya sebuah aplikasi dating, bukan konteks yang formal, dan lainnya.
Lagian, sebenarnya itu gue bertanya hanya untuk basa-basi, I didn't expect some stranger would really know how to analyze my personality by my writings and stuff. 
Ya, mungkin phrase "Things happen when you least expect it" itu bener kali ya.



Sebenarnya percakapan ini terbagi menjadi beberapa bagian, bagian pertama, gue cuma basa-basi dan dia menjawab sifat gue secara umum.
Gue membalas dengan mengatakan bahwa
"Wah keren bisa menganalisis gitu" dan bertanya "lo anak psikologi? atau suka membaca astrologi kah" 
dan gue juga membalas pernyataan dia tentang sifat gue "Wah kok bisa tau? emang keliatan ya dari bio gue"

Saat menanyakan hal itu, gue tidak mengekspektasikan suatu jawaban yang gimana-gimana sebenarnya. Gue mikir dia paling membalas seperti "Iyalah, orang lo nulis A; B; C."

Di sinilah yang menarik, gue ga menyangka dia membalas dengan detail apa hasil analisisnya dari bio gue. Gue kaget banget sampe mikir gamau bales dia dulu sampe besok, gue sampe mandi dan olahraga sambil contemplating jawaban dia. HAHA. Agak drama memang, tapi gue kaget, kok bisa gue salah nebak orang, gue kira dia tipikal yang cuek, ngejawab pertanyaan juga dengan cuek, atau menulis juga dengan cuek. Tapi ternyata asumsi gue salah. Gue, yang sangat suka menganalisis personality & behavior orang itu langsung tertegun. 

Kenapa? Karena selain gue salah nebak personality dia, gue juga seolah-olah memberikan persona yang ternyata berbeda dari apa yang gue coba sampaikan lewat profil dating app itu. Gue nge-chat seseorang itu dengan cukup ramah, bukan tipikal orang serious yang pola penulisannya cukup dry, I know how to text well and friendly. (I mean I know it as a skill and knowledge). Gue ga mengira dia bisa menebak kalo deep-down gue adalah orang yang cukup serius, dan *cough* pemikir *cough*, lol. Gue cukup kaget dengan kesalahan-kesalahan gue tersebut, hahaha.  

Setelah itu, gue memberanikan diri buat membalas pesan dia and I said
 "wow, I feel seen and I don't like it".
Bahkan gue mencurigai dia adalah seorang sejenis dengan therapist or something, hahaha. 


Setelah kejadian tersebut, gue bertanya ke diri sendiri, kenapa ya gue tidak terlalu nyaman saat seseorang bisa menemukan atau menebak my real self, yang pretty serious and stuff. Makanya saat ada yang bisa "melihat" diri gue yang asli, gue merasa sedikit terancam, pada saat itu, gue masih bingung kenapa gue bisa berpikir seperti itu. Saat ada seseorang yang ingin berkomunikasi secara intens untuk mengenal diri gue pun, gue sepertinya mem-block akses mereka ke gue.

Akhirnya gue search di google dengan term atau phrase yang kira-kira menggambarkan pengalaman gue ini. Butuh beberapa kali buat ketemu artikel yang cukup bisa menggambarkan dengan cocok. Lalu, ketemulah term "Intimacy Issue"; "Fear of Intimacy".

Hmmm, I was thinking to myself, gue sepertinya memang kurang suka atau kurang familiar dengan konsep intimacy. Gue kurang nyaman saat harus sharing a deep emotional bond dengan seseorang lain.

I love talking to new people, I really do. Apalagi yang se-frekuensi. I already learned about that, also I don't find it's hard to find an opening line or stuff. Namun, saat chat mulai intens gue cenderung takut buat invest waktu dan emosi buat hubungan yang lebih dalam and talk about hard things, gue langsung merasa some sort of threatened? Rasanya pengen detach aja.


Gue sadar saat kejadian yang telah gue ceritakan tersebut, di mana mereka tertarik buat tukeran sosmed atau kontak lainnya and wanna talk to each other intesely,  turns out badan atau otak gue bereaksi seolah-olah hal itu adalah sebuah new threat, gue harus membangun koneksi yang melelahkan setiap hari.  
Gue berpikir akan sangat melelahkan untuk harus terhubung dengan orang setiap harinya tanpa ada tujuan yang jelas mau ngapain. Gue juga sudah terbiasa terkoneksi dengan orang hanya karena ada tujuannya, misalnya karena teman sekolah, kampus, tempat les, dan lain-lain. Ga terbiasa temenan karena gaada alasan yang clear. Let alone maintain hubungan tsb. buat jangka panjang. 


Setelah menyadari hal tsb., gue jd berpikir wah kayanya kalo gue menginginkan hubungan yang serius, gabisa deh begini terus. By "hubungan serius" disini maksudnya bisa buat ke semua jender dan konteks apapun, gue pikir. Karena setelah membaca beberapa konten mengenai hubungan dari seorang psychotherapist di Instagram, hubungan jangka panjang itu bisa memberikan sesuatu yang gue cari, dia bisa menambah security buat emotional state gue. 

I didnt say I immediately wanted to do it, cuma gue cukup penasaran kenapa banyak orang yang memilih untuk mencari tambahan variabel emotional security dari hubungan jangka panjang, entah itu dalam hubungan romantis, pertemanan, pekerjaan dan lainnya. Gue pikir pasti ada sesuatu yang sangat menarik buat banyak orang sampe mereka memilih buat ngambil keputusan tersebut, yaitu buat berhubungan secara intim dengan seseorang. Akhirnya, gue jadi penasaran.

Setelah itu, gue kembali merefleksikan hubungan-hubungan gue dengan teman-teman gue, kayanya gue juga sepertinya belum bisa punya a deep emotionally bond sedalam itu sama mereka semua, kecuali beberapa yang di mana orang-orang tersebut memiliki kapasitas buat punya intimacy dengan teman lainnya atau teman yang gue kenal udah lama banget.


Agar lebih objektif, apakah emang asumsi gue ini benar, gue kembali berkontemplasi apa memang gue memiliki sifat ini. Gue mengingat suatu kejadian di mana saat temen gue yang satu waktu pernah berusaha mengasosiasikan gue dengan seorang karakter dari anime.

Dia bilang kalo gue sedikit mirip dengan Kaguya Shinomiya. 


Kaguya was a very cold and rational individual, but she slowly changed after joining the student council. During her earlier days in council, she considered Miyuki Shirogane as one she would be fine to be in a relationship with if, and only if, he confesses first, thus she constantly plays mind games in trying to get him to confess. Later in the series, her actions imply that she is starting to accept her feelings of liking Miyuki, but won't openly admit it.  

She doesn't consider herself a good person and as such, has a longing for true kindness that borders on obsession which she found in Miyuki. She cares about the members of the student council and considers them as treasured friends. Kaguya has a bad habit of immediately turning to money to solve her problems.

In general, she tends to address people in a formal manner, and almost always uses their last names in a conversation.

Kaguya suffers from mood-swings as a result of her upbringing, with the various moods having their own distinct pseudo-personalities that occasionally act out mental court cases in her head, serving as a visual representation of her psyche. There is Ice Queen, taking form with a Kaguya's pre-council hairstyle and being the prosecutor of other representations. The Moron, appearing with a flower sprouting from her head and deformed to a chibi in later appearances. And finally, the Kaguya Child version takes the role of the judge.

It has been shown that when Kaguya becomes sick or otherwise incapacitated, her basic, human desires skyrocket as a result of her brain not being as functional as it usually is, thus making her ego fundamentally dormant while it takes over her. Chika describes this state as akin to a "baby" and Kaguya herself has no recollection of any events during this state.

Due to her lack of sexual knowledge, she developed a rather immature sense of humor, especially regarding words related to sex such as "wiener"[3] and tends to laugh hysterically when such words are uttered.


Setelah membaca deskripsi yang dia berikan, gue cukup kaget. Gue ga menyangka ternyata gue beresonansi dengan sifat dingin dan rasional, gue jadi mikir "apa iya ya gue kaya begitu?" 

Gue pikir, selama kuliah gue selalu berhasil memancarkan kehangatan saat gue berbicara (lmao what did I just say?) dengan menambahkan sedikit reaksi emosional even gue kurang tertarik terhadap suatu topik. I guess people smell inauthenticity, lol.


Gue akhirnya memutuskan untuk bertanya ke dia secara langsung, apa iya gue beneran sedingin itu?
Dia menjawab, "ya pas awal kenal emang keliatan dingin, pas udah lumayan lama ngobrol masih kerasa dingin juga sih." HAHAHAHAHA gue beneran ketawa pas baca ini.

Lalu, gue kembali terpikir jangan-jangan emang selama ini gue beneran terlihat dan (beneran) bersikap dingin ke temen-temen gue khususnya ke cowok, even ke temen gue sendiri. 


Setelah menghubungkan dua kejadian tersebut, gue jadi makin mikir, wah kayanya beneran emang gue belum bisa punya sebuah emotionally bond sama orang secara mendalam. Jadi emang beneran gue kaya mirip si Kaguya yang dingin dan serba rasional (but thanks to him, I am flattered that I resonates her. Well at least, being rational is something that really matters to me, I study it regularly.)

Setelah gue menyadari kalo banyak bukti yang mendukung gue ke arah tersebut,
 I googled the issue and the reason why is it happening in the first place. First thing first, gue mencari apa arti dari intimacy itu sendiri. 

"...intimacy is about all our human relationships. It means letting yourself be closely known, even as you make an effort to deeply know and experience others."

Artikel tersebut selanjutnya menjelaskan apa manfaat penting intimacy bagi seseorang dan ciri-ciri seseorang yang cenderung takut atau menghindari dari keintiman dengan manusia lain. 

Lalu, ternyata setelah gue baca, itu semua cukup menggambarkan bagaimana gue berhubungan dengan seseorang, khususnya laki-laki. Artikel itu juga menjelaskan potential reasons mengapa seseorang bisa memiliki fear of intimacy. 

Setelah gue mengingat kembali, sepertinya memang beberapa potential reasons itu terjadi di masa lalu gue. Gue membacanya dengan "Hah, masa sih sampe segitunya?" dilanjut dengan "tapi ya bener juga sih...gue sering ngerasa gini."

Contohnya di ciri pertama, dia bilang tentang gimana seseorang yang sifatnya harus selalu sibuk, or what they wrote as "They never sit still."

Always busy, your life full to the maximum? If you do have down time, do you immediately think of what you can do to fill it? Or are you known as a workaholic?

Behind a fear of intimacy is a fear of facing up to yourself and what you perceive (erroneously) as your weaknesses. We avoid being close to others because they would then see these apparent ‘flaws’, which can be feelings of sadnessangershame and grief.


Gue berpikir, gue sering banget merasakan ini,  avoiding feelings dengan cara mencari kesibukkan. Do not get me wrong but IT IS GREAT to be productive, apalagi yang bener-bener bisa produktif setiap hari dengan jadwal yang konsisten. 
I'm still in full awe when I met people like that. 

But, dalam kasus gue hal itu terjadi karena gue memilih untuk mencari kesibukan untuk menutup atau kabur dari perasaan gue yang "buruk", entah itu sedih, khawatir, marah, dan lainnya. Gue mencari "pelarian" supaya nggak kepikiran perasaan itu aja, tapi dilain kesempatan, ternyata perasaan itu bakal muncul lagi kalo ada yang trigger dengan cara yang sama. Jadinya ga selesai gitu loh masalahnya. Gue merasa itu adalah sebuah "aib" atau hal yang negatif yang tidak bisa gue tunjukkan ke siapa pun. Istilahnya, ke diri sendiri aja malu buat mengakui apalagi ke orang lain. 

Setelah sifat yang pertama itu, artikel itu melanjutkan tulisan dengan sifat-sifat lainnya yang cukup menggambarkan seseorang yang memiliki fear of intimacy dengan orang lain, karena memang dia gak punya hubungan yang intim dengan diri sendiri. At least, that's what I could take from that article. Kalo baca dari situ sih ternyata sepertinya memang ada sedikit ketakutan terhadap intimacy di diri gue, mungkin karena memang gue belum bisa punya hubungan yang intim dengan diri sendiri, let alone with someone new, some guys and such. 

Gue jadi gak suka saat berkomunikasi intens dengan orang lain karena mereka bakal tahu gimana sifat "asli" gue or my flaws. Artinya masih  ada rasa insecurity terhadap orang lain, gue belum bisa percaya sepenuhnya kalo orang lain bakalan nerima gue apa adanya. 

It got me thinking, Ah, found it.  SO, THIS IS WHY I'm afraid to be emotionally attached to someone. I hate the pain that it does to my body and secured emotional state. 

Gue sering menemukan diri gue buat gamau bener-bener genuine ke orang karena takut mereka bakal menolak atau menjauh dari gue, dan itu gue lihat sebagai ancaman yang bakal menyusahkan hidup gue ke depannya. Because I love interacting with people, I love fitting in with them. It gives me a lot of access, opportunity, and sources to survive better.

Gue ingat pas membaca artikel ini dan menghubungkannya dengan pengalaman gue, gue merasa "terlihat", yang membuat gue sedikit tidak nyaman, tapi ya mungkin hal itu terjadi karena emang itu fakta. So I scrolled through.

Finally, artikel itu juga menjelaskan bagaimana caranya mengatasi fear of intimacy ini. 

The first step is to get out of denial about your fear of intimacy and admit that there is an issue.


So, here it is. This is the evident of me trying to stop denying about my potential issue dalam dengan menjelaskan apa yang terjadi di perasaan gue dan backstory-nya and such. 
Gue rasa, setelah gue mengenali/mengidentifikasi/memvalidasi perasaan takut ini, gue sudah melakukan satu langkah menuju jalan yang tepat buat menyelesaikan fear of intimacy.

Ada beberapa hal lagi yang dijelaskan oleh artikel itu untuk mengatasi masalah ini, ya intinya kurang lebih kita harus bisa mengidentifikasi mengapa hal itu terjadi dan menerimanya, sehingga bisa mencari solusi yang pas. (But disclaimer, gue sih gak menganggap seseorang yang gak punya/menginginkan intimacy itu ga "bagus" juga, cuma di kasus gue, gue penasaran dan pengen adanya intimacy ini.)

Gue pikir, hanya perlu beberapa steps lagi supaya gue bisa benar-benar bisa punya intimacy dengan berbagai orang dan dalam berbagai bentuk hubungan, enggak menjadi seseorang yang dingin dan tidak bisa atau bingung untuk bereaksi saat keadaan yang membutuhkan reaksi emosional, 

or what people says as cold hearted bi**h.

That's all. 

Thank you for reading through this rant!



Comments

Popular posts from this blog

Discoveries/Enlightenment?

Ekspektasi