Bingung.

Hai! 

Buat siapa pun yang membaca.

Sudah lama banget rasanya nggak curhat berdalih menulis yang proper di blog ini, hehehe.

Gimana rasanya 2020 -- sampai 2021 awal kalian guys? Gimana karantina, WFH, dan lain-lainnya? Apakah menyenangkan, memusingkan, membosankan, atau biasa aja?

Gue sendiri ingat persis gimana di awal karantina itu gue senang banget bisa pulang ke rumah, kumpul bareng keluarga yang jarang ketemu (hanya sesekali kumpul lengkap, karena adik gue juga sibuk kuliahnya).

 Tapi kok lama-lama gue jadi gak suka, karena kuliah harus online. I miss being in a physical room. I miss seeing my lecturers and my friends-- and their expressions-- live. 

Kayanya gue cukup orang yang butuh interaksi fisik saat berinteraksi dengan sesesorang. I need to touch, and see it in live picture. Ya pokoknya gue gak terlalu suka saat hidup gue saat karantina harus bergantung 24/7 pada internet, laptop, dan hape. Bahkan gue sampe sering missing absen saking sudah lelahnya berurusan dengan daring-daring ini. 

Cuma ya mau gimana lagi kan? The next thing i know itu kayanya gue hanya coexist dengan keadaan. Ga nerima tapi juga ga denial. Yaudah, that is the fact, i do what i need to do, I don't need to have emotion towards this thing. Cukup yaudah gitu. Mungkin ke depannya bukan cuma tentang keadaan work from home aja yang mengharuskan gue coexist without having emotion towards it, makin banyak hal lagi kayanya, ya.


Gue pengen sedikit sharing kebingungan gue sebenarnya, sebenarnya banyak hal sih yang masih gue bingungin. 

Nah, tapi salah satunya itu adalah tentang purpose, passion, talent, ikigai, or anything related to this thing kali ya. 

Jadi ceritanya, gue baru aja bercerita dengan orang-orang terdekat gue mengenai seorang teman yang memilih pindah jalur karir setelah bekerja kurang lebih 5 tahun-an? (i'm not sure)

Gue berdiskusi dengan mereka, bahwa temen gue ini orang yang pintar dari dulunya. Gue kenal dia dari masih kecil banget, sewaktu masa sekolah dia selalu juara kelas, bahkan kalau seingat gue dia mendapatkan nilai tertinggi untuk Ujian Nasionalnya. Masuk ke SMA, dia mengambil sekolah kejuruan analis kimia yang kerjaannya di lab mulu, ngeliatin, nyampur, dan eksperimen dengan bahan-bahan kimia.  Selain itu, dia bahkan sempat menjadi ketua osis selama masa SMAnya. Selanjutnya, sehabis SMA dia kerja di sebuah perusahaan farmasi yang besar di Indonesia. *I do hope you get what i wanna say, she's smart, both in class and outside.

Kita bisa berasumsi kalau seseorang kerja di perusahaan besar plus dia merupakan seorang tenaga ahli, otomatis gajinya cukup di atas rata-rata ya. Semua itu dia dapetin setelah dia lulus SMA. Dia sendiri yang bilang kalau gaji dia itu cukup fantastis buat seorang lulusan SMA. Gue jadi salah satu teman dia yang bisa dibilang cukup dekat. Gue sering main bareng dan ngobrol, kalo lagi gitu dia pasti selalu jajanin, hahaha. Kita emang cukup deket dari jaman SD, sampe sekarang masih sering main bareng karena masih nyambung aja kalo ngobrol plus rumah kita berdekatan.


Nah, ceritanya dimulai saat gue menjelaskan kalau temen gue ini sekarang masih skripsian juga, sama kaya gue. Hal ini karena dia sempet gap year buat kerja di perusahaan farmasi tersebut. Tapi sehabis itu dia lanjut mengambil program S1, di teknik industri. 

Nah ada major pivotal moment setelah dia berkuliah di sini, dia ga merasa cocok dengan jurusan tersebut -- despite dia udah didukung sama bos di kantornya dan jurusan tersebut linier dengan pengalaman kerjanya.

Akhirnya, dia pindah jurusan ke ilmu sosial, yang menurut gue sih emang favorit juga (and it's pretty cool, in my personal opinon).


Lalu, respon yang gue dengar selanjutnya dari orang-orang terdekat gue ini adalah "Sayang banget, ya" 

.

.

.

and I was like??

Kenapa jadi  sayang banget? 

Lalu mereka jelasin mengapa keputusan tersebut dianggap "sangat disayangkan" atau bisa dibilang teman gue yang pindah jurusan ini mengambil langkah yang kurang menguntungkan buat dirinya sendiri.

Ya alasannya sih memang cukup masuk akal, karena jurusan barunya nggak linier sama pekerjaan dia sebelumnya, 

It was something yang juga gue tanyakan sejujurnya sama dia secara pribadi. 

Dia bilang gue gak cocok karena dari pengalaman kerjanya, dia suntuk dengan lingkungan kerja yang berkutat di laboraturium tiap harinya, gak berinteraksi dengan banyak manusia.

Sedangkan dia mau kerja yang banyak interaksi dengan manusia. Di jurusan teknik industri dia gak bisa temuin itu, selain itu dia juga merasa fisikanya ga bagus-bagus banget.

Tapi pas dia cerita gitu, gue sebenernya sih yakin dia sih bisa-bisa aja dapet nilai yang bagus kalo emang dia mau lebih menuangkan energinya buat belajar di situ, karena gue tau dia itu pinter dari dulunya. Gue hanya berpikir mungkin memang dia gak suka apa yang dia pelajarin, gak bisa connect dengan hal tersebut.  She's just being true and honest to herself. 


Lalu, orang-orang terdekat gue ini melanjutkan argumen menyayangkan pilihan dia dengan alasan 

"Ya namanya juga masih muda , jadi kemungkinan besar dia mengambil langkah yang cukup impulsif, kan belajar ipa emang cukup stressful di lab. mulu, kalo sosial lebih mengikuti keadaan"


and I was like, okay, make sense enough. I understand where that's coming from, though. 

I just sense it's coming out based on their own insecurities. 


Gue ngerti banget, kalo diceritain secara sekilas pasti orang-orang akan langsung mengambil kesimpulan bahwa apa yang teman gue lakukan ini "sangat disayangkan", "menghabiskan waktu", "ngabisin duit" dan lain sebagainya.

Namun, yang gue gatau apakah mereka emang beneran care sama masa depan dia atau cuma ingin stating/judging out dia ngambil jalan yang salah menurut mereka.  

Tapi, sebagai orang yang cukup dekat dan sering ngobrol bareng temen gue -- yang jadi objek pembicaraan di sini -- gue sedikit lebih paham mengapa dia mengambil pilihan tersebut. Bahkan bisa dibilang gue ga terlalu kaget? I've known her since i was 10, and i knew she's a very social person. She loves to connect with people, ideas and its dynamics.

I know she's very mindful about her decisions too. Dia juga bercerita berkali-kali bagaimana dia cukup berat meninggalkan pekerjaannya. Gue tau pasti sudah banyak waktu dihabiskan buat memikirkan pro and cons dari keputusan resign-nya itu. Dia bercerita memang berat meninggalkan pekerjaannya, karena melalui pekerjaan itu juga dia mendapatkan sumber dana buat membayar perkuliahannya. 

Tapi, di sisi lain, she couldn't enjoy what she pays for

Setelah dia pindah jurusan, dia masih bekerja beberapa waktu sampai di semester akhir yang mengharuskan dia untuk magang. 

Saat dia masuk ke jurusan yang baru ini juga, gue malah melihat dia semakin berkembang. Dia ikut berbagai macam konferensi. Dia ikut konferensi ke berbagai negara, ikut kegiatan volunteering di  NGO Internasional, bahkan sampe ikut project-nya menjadi full-time employee. Dia juga discover bakat barunya di bidang sosial media dan art. Bahkan sempet beberapa kali gue lihat di instagram-nya, kalo dia mengisi  webinar mengenai topik yang memang dia tertarik banget. How cool is that?


Gue sendiri, yang sudah tau mau pindah dari IPA ke IPS dari awal gue kelas 12 (which is dari tahun 2013/14?) belum bisa punya achievement sebanyak dan sebesar gitu. Dia baru menyadari passion dia semenjak 2018 which is sekitar 3 tahun lalu dari tahun ini sudah bisa mendapatkan banyak hal di bidang baru itu. like how come you went that fast??

Gue sih nggak bisa bayangin gimana capeknya 3 tahun tersebut. Harus bisa bagi waktu antara kerja secara profesional, akademikm dan doing things outside campus semacam volunteering dan lain-lain. 

Di saat yang bersamaan juga, gue secara personal ngobrol sama dia,  dia gak pernah mengeluh capek tentang kerjaan atau tanggung jawab yang harus dia lakukan. Dia tetep happy, sama seperti dia yang gue kenal sewaktu SD dan SMP. 

Dia juga masih meluangkan waktu buat ketemu teman-temannya dan ngobrol tanpa curhat yang isinya kebanyakan mengeluh dengan pilihan hidup sendiri. Dengan adanya fakta itu aja gue sudah sangat-sangat kagum sama dia. 



Dari apa yang dia ceritakan ke gue serta melihat perjalanan dia menjadi diri dia yang sekarang, gue tidak melihat ada sesuatu yang pantas disayangkan dari pilihan-pilihan dia, termasuk pindah jurusan.

She's just growing and finding the best things for herself.  She just wants to be honest with herself and comfortable with herself. 


I don't know mungkin karena orang-orang terdekat gue ini tidak mendengar cerita dia dengan lebih dalam, makanya bisa menjudge seperti itu, atau memang sudah tau jalan cerita hidup seseorang yang pindah jurusan ke ilmu sosial dan their career sucked, they couldn't survive or worse they died. 

Gue juga tidak tahu, apa memang orang-orang kalau lebih tua itu bisa lebih tau jalan hidup seseorang 10-15 tahun ke depan berdasarkan realita 20 tahun lalu? atau bahkan berdasarkan sesuatu yang bukan fakta tapi cuma "common sense" yang dia sendiri gak tau tingkat validitas dan reliabilitasnya. 


Mungkin gue yang "sok pinter", tapi menurut gue, sangat-sangat lebih "sok pinter" saat seseorang itu menentukan takdir seseorang -- melalui mengasihani mereka karena seseorang memilih suatu keputusan di hidupnya  yang menurut seseorang tidak sesuai common sense -- tanpa mendengarkan lebih jauh ceritanya, tanpa mendengarkan kenapa dia memutuskan memilih itu dan proses apa saja yang sudah ia lewati sampai ia bisa berpikir seperti itu.

Gue juga tidak tahu, apakah memang sebenarnya orang-orang mengasihani karena benar-benar mengetahui apa yang akan terjadi atau sebenarnya cuma insecure sama keberanian temen gue ini dalam mengambil keputusannya-- yang menurut orang-orang itu "ngabisin waktu dan duit."


Yah, gue gak tau sih yang mana yang bener, dan belum ada energi untuk mencari jawabannya juga buat saat ini, energi gue bisa abis buat "mengorek" mereka tentang hal ini. 

Cuma yang gue tau, saat seseorang itu udah comfortable dengan dirinya sendiri dan bisa memutuskan apa yang terbaik buat dirinya sendiri, ternyata banyak orang yang malah tidak nyaman dengan keputusan "berani" tersebut. Mereka yang malah merasa seolah-olah terancam dengan keputusan dia yang sebenarnya tidak ada urusannya juga dengan mereka.

Weird, isn't it? and also confusing. 

Hahaha.

Anyway, terima kasih sudah membaca! 

Hope everyone who reads this always finds the courage to be comfortable with themselves.  

Comments

Popular posts from this blog

Discoveries/Enlightenment?

Cold Hearted Bit*h

Ekspektasi